Danau yang indah nan megah terdapat di tanah Aceh luasnya hampir melintasi kota gayo di Aceh Tengah. Danau Laut Tawar Namanya. Pemandangan yang sungguh sangat indah danau yang dilintasi pengunangan tersebut telah menarik perhatian kaum wisatawan yang rajing akan sebuah panorama. Keindahan Danau Laut Tawar di meriahkan pula oleh Gowa Loyang Karo yang mencengangkan setiap pengunjungnnya.
Kota yang mendapat gelar sebagai kota dingin ini telah menjadi pusat wisata di tanah Aceh. Tak bisa dipungkiri ini benar-benar alam yang penuh dengan kealamian. Takengon adalah daerah Aceh yang penuh dengan cerita dongeng. Sampai akhir nya ada cerita Putri Pukes yang menjadi lagenda kaum setempat. Kebun kopi yang luas dan megah menjadi mata pencaharian penduduk Gayo yang berhabitat di Aceh Tengah.
Touris keluar masuk mengunjungi tanah yang pernah di landa gempa dahsyat hingga runtuh seribu bangunan. Ia kala itu saya masih duduk dibangku kuliah dengan menekuni diri di sebuah organisasi eksternal kampus yaitu HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Tepat tanggal 2 Juli 2013 saya bersama rekan-rekan HMI mempunyai tugas sosial untuk mulai mengutip secuil bantuan berupa makanan, pakaian, uang dll untuk membantu saudara Gayo yang kena musibah gempa berkekuatan 6,2 Sk.
Dua hari setelah tragedi Gayo menggemparkan rakyat Aceh. Kami dari Tim sosialisasi HMI Cabang Sigli ikut meringan beban saudara yang ada digayo. Malam itu kami melintasi gelapnya bukit panglima hingga kami berteduh di kolam air panas. Banyak pengalaman dan penuh perjuangan. Jam 08.00 kami tiba di sekretariat HMI Cabang Aceh Tengah disambut ramah oleh sahanbat HMI Yang mekar disana. Dan yang jelas kami tidah dikasih makanan karena memang hari itu adalah bulan puasa. Setelah kami dianjurkan untuk beristirahat sejenak kemudian langsung kami di bawa kelokasi musibah untuk mengunjungi para warga yang sedang sangat membutuhkan bantuan makanan dan kesehatan. Lalu ku sapa seorang nenek yang kira-kira umurnya hampir 100 Tahun.
Wajahnya kusam dan sudah tak bersemangat lagi. Penglihatan mulai padam dan pendengarannya mulai dungu. Bahasanya yang kurang di mengerti karena bersua dengan loghat Gayo. Saya yang berketurunan Aceh Tulen betul-betul dibuawat bingung dan linglung. Teman HMI Cabang Takengon tersenyum melihat saya yang panik tak tau mau menjawab apa dengan pertanyaan nenek renta itu. Lalu diterjemahkan bahasa Indonesia oleh sahabat HMI. Lebih kurang pengertiannya nenek itu ingin saya tinggal disana untuk menjadi guru ngaji wilayah yang sangat terpencil itu. Lantas saya mencoba tenang dan tak mau menjawab buru-buru karena tidak mungkin saya cabik hatinya yang sedang sedih mendapat musibah. Lalu saya tersenyum dan menjawab InsyaAllah saya akan kembali setelah selesai kuliah nanti Nek. Nenek itu mengangguk dengan penuh harapan dan cita-cita.
Setahun musibah Gayo saya kembali berkunjung kesana. Langsung saya cari rumah kecil yang ada di pinggir kebun kopi. Tapi rumah itu kelihatan sepi dan tak ada penghuni. Tetangga nenek itu bahkan tidak kenal dengan nenek tersebut. Rupanya tanah Gayo setahun yang lalu yang berporak poranda kini mulai tertata kembali. Reruntuhan rumah dan bangunan umum lainnya sudah terehap kembali walau tak sesempurna mungkin. Sejenak pikiran ku teringat sebuah rumah yang ada diselatan, yaitu rumah ibu maimunah. Beliau adalah penduduk asli Gayo yang pernah mengajak kami masak bareng di halaman rumahnya.
Karena kala itu penduduk setempat takut menghuni rumahnya akibat gempa yang sering menyusul kembali. Dari jauh ibu Maimunah memandang kearah wajah ku, senyum ku langsung merekah kearahnya. Aku berlari dan langsung memeluk ibu maimunah dengan berkata assalamu’alaikum. Ibu maimunah langsung menangis dan berkata ini nak ica kan? Lalu saya menjawab ia benar buk, alhamdulillah ibu masih mengenal dengan wajah saya. Tanpa basa basi banyak saya langsung bertanya nenek yang tinggal di tengah kebun kopi itu. Ibu maimunah menjawab bahwa nenek tersebut sudah meninggal dunia dengan mentipakan sepucuk surat untuk mu duhai nak Ica.
Saya Tercengang dan sangat terkejut, ibu Maimunah langsung mengambil surat tersebut dan menyerahkan ke saya. Surat itu rupanya kata-kata terakhir nenek yang dikutip ibu Maimunah dalam selembar kertas. Karena ibu Maimunah yakin kalau saya suatu saat nanti pasti akan kembali kesana. Kemudian langsung saya baca isi surat tersebut. Aku merindukan sosok wanita muda yang pernah berkunjung saat tragedi gempa Gayo. Saya pernah bercita-cita gadis itu menjadi warga tetap dan bersedia mengajari agama di kampong halaman kita. Tapi gadis itu menolaknya karena masih harus melanjutkan pendidikannya yang belum selesai.
Saya ingin sekali melihat wajah manis nya yang penuh dengan kecerian. Seolah saya pernah mengenalnya sebelum itu. Saya ingin ke tanah Pidie bertemu dan menyapa keluarganya. Tapi apa boleh buat saya tak ada siapa-siapa sekarang tinggal sendiri. Setelah membaca surat tersebut seolah saya mempunyai tanggung jawab baru yang entah kapan akan saya wujudkan. Sehari semalam di Gayo ditahun 2014 saya kembali ketanah Pidie.
Beban dan pesan nenek Gayo masih menjadi imajinasi dan alusinasi saya semata. Saya belum bisa menunaikan permintaan nenek tersebut. Hanya Allah yang akan menjawabnya. Semua itu akan terwujudkan atau semua itu hanya harapan semata yang kan senantiasa menjadi pesan surat putih yang tersimpan di dalam lemari peti. Selamat jalan nek, semoga amal ibadahmu diterima disisi Allah dan kita akan berjumpa lagi di syurga nanti.
Kota yang mendapat gelar sebagai kota dingin ini telah menjadi pusat wisata di tanah Aceh. Tak bisa dipungkiri ini benar-benar alam yang penuh dengan kealamian. Takengon adalah daerah Aceh yang penuh dengan cerita dongeng. Sampai akhir nya ada cerita Putri Pukes yang menjadi lagenda kaum setempat. Kebun kopi yang luas dan megah menjadi mata pencaharian penduduk Gayo yang berhabitat di Aceh Tengah.
Touris keluar masuk mengunjungi tanah yang pernah di landa gempa dahsyat hingga runtuh seribu bangunan. Ia kala itu saya masih duduk dibangku kuliah dengan menekuni diri di sebuah organisasi eksternal kampus yaitu HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Tepat tanggal 2 Juli 2013 saya bersama rekan-rekan HMI mempunyai tugas sosial untuk mulai mengutip secuil bantuan berupa makanan, pakaian, uang dll untuk membantu saudara Gayo yang kena musibah gempa berkekuatan 6,2 Sk.
Dua hari setelah tragedi Gayo menggemparkan rakyat Aceh. Kami dari Tim sosialisasi HMI Cabang Sigli ikut meringan beban saudara yang ada digayo. Malam itu kami melintasi gelapnya bukit panglima hingga kami berteduh di kolam air panas. Banyak pengalaman dan penuh perjuangan. Jam 08.00 kami tiba di sekretariat HMI Cabang Aceh Tengah disambut ramah oleh sahanbat HMI Yang mekar disana. Dan yang jelas kami tidah dikasih makanan karena memang hari itu adalah bulan puasa. Setelah kami dianjurkan untuk beristirahat sejenak kemudian langsung kami di bawa kelokasi musibah untuk mengunjungi para warga yang sedang sangat membutuhkan bantuan makanan dan kesehatan. Lalu ku sapa seorang nenek yang kira-kira umurnya hampir 100 Tahun.
Wajahnya kusam dan sudah tak bersemangat lagi. Penglihatan mulai padam dan pendengarannya mulai dungu. Bahasanya yang kurang di mengerti karena bersua dengan loghat Gayo. Saya yang berketurunan Aceh Tulen betul-betul dibuawat bingung dan linglung. Teman HMI Cabang Takengon tersenyum melihat saya yang panik tak tau mau menjawab apa dengan pertanyaan nenek renta itu. Lalu diterjemahkan bahasa Indonesia oleh sahabat HMI. Lebih kurang pengertiannya nenek itu ingin saya tinggal disana untuk menjadi guru ngaji wilayah yang sangat terpencil itu. Lantas saya mencoba tenang dan tak mau menjawab buru-buru karena tidak mungkin saya cabik hatinya yang sedang sedih mendapat musibah. Lalu saya tersenyum dan menjawab InsyaAllah saya akan kembali setelah selesai kuliah nanti Nek. Nenek itu mengangguk dengan penuh harapan dan cita-cita.
Setahun musibah Gayo saya kembali berkunjung kesana. Langsung saya cari rumah kecil yang ada di pinggir kebun kopi. Tapi rumah itu kelihatan sepi dan tak ada penghuni. Tetangga nenek itu bahkan tidak kenal dengan nenek tersebut. Rupanya tanah Gayo setahun yang lalu yang berporak poranda kini mulai tertata kembali. Reruntuhan rumah dan bangunan umum lainnya sudah terehap kembali walau tak sesempurna mungkin. Sejenak pikiran ku teringat sebuah rumah yang ada diselatan, yaitu rumah ibu maimunah. Beliau adalah penduduk asli Gayo yang pernah mengajak kami masak bareng di halaman rumahnya.
Karena kala itu penduduk setempat takut menghuni rumahnya akibat gempa yang sering menyusul kembali. Dari jauh ibu Maimunah memandang kearah wajah ku, senyum ku langsung merekah kearahnya. Aku berlari dan langsung memeluk ibu maimunah dengan berkata assalamu’alaikum. Ibu maimunah langsung menangis dan berkata ini nak ica kan? Lalu saya menjawab ia benar buk, alhamdulillah ibu masih mengenal dengan wajah saya. Tanpa basa basi banyak saya langsung bertanya nenek yang tinggal di tengah kebun kopi itu. Ibu maimunah menjawab bahwa nenek tersebut sudah meninggal dunia dengan mentipakan sepucuk surat untuk mu duhai nak Ica.
Saya Tercengang dan sangat terkejut, ibu Maimunah langsung mengambil surat tersebut dan menyerahkan ke saya. Surat itu rupanya kata-kata terakhir nenek yang dikutip ibu Maimunah dalam selembar kertas. Karena ibu Maimunah yakin kalau saya suatu saat nanti pasti akan kembali kesana. Kemudian langsung saya baca isi surat tersebut. Aku merindukan sosok wanita muda yang pernah berkunjung saat tragedi gempa Gayo. Saya pernah bercita-cita gadis itu menjadi warga tetap dan bersedia mengajari agama di kampong halaman kita. Tapi gadis itu menolaknya karena masih harus melanjutkan pendidikannya yang belum selesai.
Saya ingin sekali melihat wajah manis nya yang penuh dengan kecerian. Seolah saya pernah mengenalnya sebelum itu. Saya ingin ke tanah Pidie bertemu dan menyapa keluarganya. Tapi apa boleh buat saya tak ada siapa-siapa sekarang tinggal sendiri. Setelah membaca surat tersebut seolah saya mempunyai tanggung jawab baru yang entah kapan akan saya wujudkan. Sehari semalam di Gayo ditahun 2014 saya kembali ketanah Pidie.
Beban dan pesan nenek Gayo masih menjadi imajinasi dan alusinasi saya semata. Saya belum bisa menunaikan permintaan nenek tersebut. Hanya Allah yang akan menjawabnya. Semua itu akan terwujudkan atau semua itu hanya harapan semata yang kan senantiasa menjadi pesan surat putih yang tersimpan di dalam lemari peti. Selamat jalan nek, semoga amal ibadahmu diterima disisi Allah dan kita akan berjumpa lagi di syurga nanti.
0 Response to "Merindukan Tanah Gayo"
Post a Comment